fitrah, nikah dan dakhwah
Di sebuah kepanitiaan, “akh, antum marah atas ucapan saya tadi ya?” Tanya seorang akhwat ketika nada bicara ikhwan di hadapannya meninggi. Ikhwan tersebut hanya menggeleng. “nggak apa – apa, bilang saja kalau antum marah, mungkin saya tadi ngomongnya kurang ahsan”. Ikhwan tersebut masih menggeleng. “suit…suit… gerr… ehem… ehem…!! kami dengar lho…” beberapa meter dari tempat itu sekelompok ikhwan menggoda mereka berdua.
“dinda, temanilah aku disetiap detikku…” suara nyaring nasyid romantis dari dering handphone seorang ikhwan mengalun sekitar pukul dua dini hari seperti malam – malam sebelumnya. Sang ikhwan dengan penuh semangat segera bangun begitu mendengarnya. Dari nada deringnya dia sudah tahu siapa yang miscall, seorang akhwat.
Sebagian dari kita mungkin pernah mendengar cerita serupa dengan kasus di atas. CBSA, Cinta Bersemi Sesama Aktivis, bukan sebuah permasalahan baru yang muncul. Interaksi yang sedemikian intens dalam berbagai kesempatan memungkinkan munculnya benih – benih simpati. Tidak hanya sesama aktivis, kemungkinan hati untuk terkotori saat berkomunikasi dengan obyek dakwah (mad’u) pun selalu ada. Apalagi jika adab bergaul belum dipegang teguh.
Virus Merah Jambu, VMJ bisa jadi memilih kapan, dimana dan pada siapa dia datang. Dalam buku Pinanglah Daku Duhai Cintaku, Udik Abdullah menyebutkan bahwa VMJ adalah satu – satunya penyakit, dimana penderitanya tidak mau untuk disembuhkan.
Jika ini terjadi pada aktivis, tidak saja menjadi awal lunturnya komitmen dan militansi, tapi juga mempertaruhkan barokahnya sebuah dakwah.
Naluri tidak akan meminta pemenuhan ketika tidak terdapat media yang menjadi factor pemicunya. Begitu pula dengan kecenderungan terhadap lawan jenis ini. Komunikasi yang melebihi kebutuhan esensial, bercanda, curhat, survey bareng ikhwan akhwat, rapat – rapat intens dan tidak efektif, dan profokasi untuk menikah bisa menjadi salah satu kambing hitamnya.
Dibalik maraknya anjuran untuk menyegerakan menikah, tersimpan sedikit kekhawatiran. Ada yang bersikeras untuk menikah, padahal ia masih makruh untuk menikah. Ia sebenarnya pada keadaan yang mengharuskan untuk bersabar terlebih dahulu hingga 4JJ1 memberikannya kemampuan. Ada juga yang menikah agar tidak terjebak pada pacaran, padahal agar tidak terjebak pacaran bukan berarti harus menikah.
Idealnya menikah menjadi sarana untuk menyempurnakan separuh agama dan menjadi tonggak baru aktivitas dakwah seseorang. Artinya pernikahan memang harus dipersiapkan sebaik mungkin agar nantinya semua potensi kebaikan dapat berkembang. Bukan sebaliknya, setelah menikah agenda dakwah harus terkorbankan dengan alas an mengurus keluarga.
Kapan saatnya menyatakan ‘siap menikah’
Seseorang bisa menyatakan diri siap menikah jika memang telah sadar, sebelumnya telah melakukan serangkaian persiapan. Bukan memaksakan diri untuk mengatakan siap ketika tiba tawaran. Adapun persiapan yang idealnya adalah :
Ilmu. Yaitu ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan dan bagaimana melakukannya. Jangan sampai hukum diterjang karena tidak tahu, sementara mereka tidak tahu bahwa mereka tidak tahu. Apalagi bagi suami, ia berkewajiban mendidik istri dan anaknya, artinya ia harus menguasai ilmu agama dan bagaimana cara mengajar.
kemampuan memenuhi tanggung jawab. Baik yang berkaitan dengan kewajiban jasadi atau ruhi.
kesiapan menerima anak.
kesiapan psikis, artinya kesiapan menerima kekurangan pendampingnya, siap memasuki rumah tangga yang bersahaja, siap berpikir mandiri. Jangan sampai yang ada dalam benak hanyalah angan – angan indah sebuah pernikahan saja.
kesiapan ruhiyah. Jika seseorang benar – benar bagus agamanya, hatinya akan halus dan mudah untuk menerima peringatan dan nasihat.
(Fauzil Adim. Saatnya Untuk Menikah).
Kiranya beberapa hal diatas mesti disiapkan sebelum kita menyatakan diri siap untuk menikah.
Jika keinginan menikah sudah mantap, persiapan sudah tertata, maka idealnya pertimbangan – pertimbangan dakwah pun dapat diakomodasi semaksimal mungkin. Hati dapat terjaga, dakwah pun melejit. Dengan bantuan dari murobbi atau ustadz, semoga usaha yang yang mengarah kesana dapat ter-cover melalui proses awal yang dilalui. Proses tanpa pacaran, bukan karena mengobati VMJ, dan bukan karena tertarik kecantikan/ketampanan, harta, maupun keturunan. Akan tetapi, berdasarkan niat yang tulus “dalam rangka beribadah, untuk mendapatkan ridho dari – Nya”.
Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa – gesa menikah. Menyegerakan insya 4JJ1 akan membuahkan kebaikan sehingga mendatangkan barokah dan sakinah. Sementara tergesa – gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan.
** Syifa El Kareem (lentera jogja, media komunitas tarbiyah
Di sebuah kepanitiaan, “akh, antum marah atas ucapan saya tadi ya?” Tanya seorang akhwat ketika nada bicara ikhwan di hadapannya meninggi. Ikhwan tersebut hanya menggeleng. “nggak apa – apa, bilang saja kalau antum marah, mungkin saya tadi ngomongnya kurang ahsan”. Ikhwan tersebut masih menggeleng. “suit…suit… gerr… ehem… ehem…!! kami dengar lho…” beberapa meter dari tempat itu sekelompok ikhwan menggoda mereka berdua.
“dinda, temanilah aku disetiap detikku…” suara nyaring nasyid romantis dari dering handphone seorang ikhwan mengalun sekitar pukul dua dini hari seperti malam – malam sebelumnya. Sang ikhwan dengan penuh semangat segera bangun begitu mendengarnya. Dari nada deringnya dia sudah tahu siapa yang miscall, seorang akhwat.
Sebagian dari kita mungkin pernah mendengar cerita serupa dengan kasus di atas. CBSA, Cinta Bersemi Sesama Aktivis, bukan sebuah permasalahan baru yang muncul. Interaksi yang sedemikian intens dalam berbagai kesempatan memungkinkan munculnya benih – benih simpati. Tidak hanya sesama aktivis, kemungkinan hati untuk terkotori saat berkomunikasi dengan obyek dakwah (mad’u) pun selalu ada. Apalagi jika adab bergaul belum dipegang teguh.
Virus Merah Jambu, VMJ bisa jadi memilih kapan, dimana dan pada siapa dia datang. Dalam buku Pinanglah Daku Duhai Cintaku, Udik Abdullah menyebutkan bahwa VMJ adalah satu – satunya penyakit, dimana penderitanya tidak mau untuk disembuhkan.
Jika ini terjadi pada aktivis, tidak saja menjadi awal lunturnya komitmen dan militansi, tapi juga mempertaruhkan barokahnya sebuah dakwah.
Naluri tidak akan meminta pemenuhan ketika tidak terdapat media yang menjadi factor pemicunya. Begitu pula dengan kecenderungan terhadap lawan jenis ini. Komunikasi yang melebihi kebutuhan esensial, bercanda, curhat, survey bareng ikhwan akhwat, rapat – rapat intens dan tidak efektif, dan profokasi untuk menikah bisa menjadi salah satu kambing hitamnya.
Dibalik maraknya anjuran untuk menyegerakan menikah, tersimpan sedikit kekhawatiran. Ada yang bersikeras untuk menikah, padahal ia masih makruh untuk menikah. Ia sebenarnya pada keadaan yang mengharuskan untuk bersabar terlebih dahulu hingga 4JJ1 memberikannya kemampuan. Ada juga yang menikah agar tidak terjebak pada pacaran, padahal agar tidak terjebak pacaran bukan berarti harus menikah.
Idealnya menikah menjadi sarana untuk menyempurnakan separuh agama dan menjadi tonggak baru aktivitas dakwah seseorang. Artinya pernikahan memang harus dipersiapkan sebaik mungkin agar nantinya semua potensi kebaikan dapat berkembang. Bukan sebaliknya, setelah menikah agenda dakwah harus terkorbankan dengan alas an mengurus keluarga.
Kapan saatnya menyatakan ‘siap menikah’
Seseorang bisa menyatakan diri siap menikah jika memang telah sadar, sebelumnya telah melakukan serangkaian persiapan. Bukan memaksakan diri untuk mengatakan siap ketika tiba tawaran. Adapun persiapan yang idealnya adalah :
Ilmu. Yaitu ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan dan bagaimana melakukannya. Jangan sampai hukum diterjang karena tidak tahu, sementara mereka tidak tahu bahwa mereka tidak tahu. Apalagi bagi suami, ia berkewajiban mendidik istri dan anaknya, artinya ia harus menguasai ilmu agama dan bagaimana cara mengajar.
kemampuan memenuhi tanggung jawab. Baik yang berkaitan dengan kewajiban jasadi atau ruhi.
kesiapan menerima anak.
kesiapan psikis, artinya kesiapan menerima kekurangan pendampingnya, siap memasuki rumah tangga yang bersahaja, siap berpikir mandiri. Jangan sampai yang ada dalam benak hanyalah angan – angan indah sebuah pernikahan saja.
kesiapan ruhiyah. Jika seseorang benar – benar bagus agamanya, hatinya akan halus dan mudah untuk menerima peringatan dan nasihat.
(Fauzil Adim. Saatnya Untuk Menikah).
Kiranya beberapa hal diatas mesti disiapkan sebelum kita menyatakan diri siap untuk menikah.
Jika keinginan menikah sudah mantap, persiapan sudah tertata, maka idealnya pertimbangan – pertimbangan dakwah pun dapat diakomodasi semaksimal mungkin. Hati dapat terjaga, dakwah pun melejit. Dengan bantuan dari murobbi atau ustadz, semoga usaha yang yang mengarah kesana dapat ter-cover melalui proses awal yang dilalui. Proses tanpa pacaran, bukan karena mengobati VMJ, dan bukan karena tertarik kecantikan/ketampanan, harta, maupun keturunan. Akan tetapi, berdasarkan niat yang tulus “dalam rangka beribadah, untuk mendapatkan ridho dari – Nya”.
Menyegerakan menikah berbeda dengan tergesa – gesa menikah. Menyegerakan insya 4JJ1 akan membuahkan kebaikan sehingga mendatangkan barokah dan sakinah. Sementara tergesa – gesa akan melahirkan persoalan demi persoalan.
** Syifa El Kareem (lentera jogja, media komunitas tarbiyah
subhanallah...walhamdulillah...jazakallah atas pencerahannya
BalasHapus